Perubahan Iklim di Indonesia
Perubahan iklim diperkirakan akan sangat mempengaruhi Indonesia: Meningkatnya bencana alam akan menghancurkan mata pencaharian dan membahayakan ketahanan pangan.
Pada saat yang sama Indonesia merupakan salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia yang bertanggungjawab atas pemanasan global, terutama akibat deforestasi, degradasi hutan dan lahan gambut serta kebakaran hutan. FAO menyatakan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 24% tutupan hutan dan sekitar 60% biomassa hutan antara tahun 1990 dan 2005. Secara global, hampir seperlima dari emisi gas rumah kaca terkait dengan hutan.
Tugas untuk memperlambat hilangnya hutan sangat sulit, terutama di negara-negara seperti Indonesia dengan faktor pendorong deforestasi dan degradasi sangat kuat dan terus-menerus, termasuk:
- Konversi hutan menjadi perkebunan, seperti kelapa sawit;
- Tingkat pembalakan kayu yang tidak lestari pada konsesi hutan yang sah;
- Pembalakan liar skala kecil dan besar;
- Perluasan area pertambangan;
- Pembersihan lahan hutan untuk pertanian, permukiman dan prasarana.
Inisiatif untuk mengurangi emisi yang berkaitan dengan hutan akan meningkatkan upaya untuk melindungi dan mengelola hutan secara lestari, dan dengan demikian mempertahankan kapasitas ekosistem hutan untuk menyediakan barang dan jasa penting bagi lingkungan dan manusia.
Fungsi ekosistem yang utuh juga dapat membantu mengurangi kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim seperti kekeringan atau cuaca ekstrim.
Janji Dukungan Jerman
Perubahan iklim membahayakan perkembangan menuju Pembangunan Milenium yang telah disepakati secara internasional.
Oleh karena itu perubahan iklim menjadi fokus utama kerjasama pembangunan Jerman dan merupakan area prioritas dalam kerjasama dengan Indonesia. Kedua negara telah menghasilkan suatu kemitraan strategis terkait dengan perubahan iklim pada tahun 2007, dengan fokus pada tiga hal, yaitu: hutan, emisi di perkotaan dan energi panas bumi.
Terkait dengan kehutanan, Jerman mendukung upaya Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor ini, dengan melestarikan keanekaragaman hayati hutan di kawasan yang tercakup dalam inisiatif Heart of Borneo dan melaksanakan pengelolaan hutan lestari untuk kepentingan rakyat. Tindakan langsung Jerman akan terpusat dalam membantu kesiapan Indonesia dalam melaksanakan mekanisme REDD masa depan (proses kesiapan).
Bank Pembangunan Jerman KfW akan memberikan bantuan untuk modul Kerjasama Keuangan (Financial Cooperation-FC) proyek FORCLIME (hibah senilai 20 juta Euro) yang dibiayai oleh Kementerian Jerman untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ). Selain itu, KfW juga membiayai dua proyek lain, yaitu Proyek Hutan Tropis Harapan (7.575 juta Euro) dan 0,878 juta Euro untuk proyek "Mengamankan penyimpanan karbon alami dan habitat di kawasan Heart of Borneo" (Securing natural carbon sinks and habitats in the Heart of Borneo) yang diimplementasikan oleh WWF. Dana untuk kedua proyek ini telah disediakan oleh Kementerian Jerman untuk Lingkungan Hidup, dan Pengamanan Nuklir (BMU) melalui "Inisiatif Iklim Internasional" (ICI).
Program GIZ yang memiliki fokus pada kehutanan adalah: FORCLIME (Forests and Climate Change Programme) yang dibiayai oleh Kementerian Federal Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ) dan MRPP (Merang Pilot Project REDD), yang dibiayai oleh Kementerian Federal untuk Lingkungan, Konservasi Alam dan Keamanan Nuklir (BMU). Namun MRPP telah selesai pada bulan Desember 2011
PAKLIMmerupakan proyek GIZ lainnya yang memiliki fokus kegiatan terkait dengan emisi di perkotaan dan energi panas bumi.
Pentingnya Bertindak Sekarang
Dalam laporan penilaian keempat dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) (Parry et al. 2007), para ilmuwan menegaskan bahwa kenaikan suhu global harus dibatasi sampai 2°C, jika kita ingin mencegah efek perubahan iklim yang berpotensi membawa bencana. Untuk mencapai hal ini, IPCC merekomendasikan bahwa, pada tahun 2020, negara-negara industri harus mengurangi emisinya sebanyak 40 persen dari tingkat tahun 1990. Namun, setelah periode komitmen pertama Protokol Kyoto, jika target global ingin dipenuhi, maka tidak ada lagi pilihan untuk mengabaikan aktivitas di negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang juga harus mengambil tindakan dan mengurangi tingkat proyeksi peningkatan emisi gas rumah kacanya. Selain itu, meskipun upaya pengurangan emisi hingga saat ini telah terfokus pada sektor energi, target masa depan tidak dapat dicapai kecuali perubahan pemanfaatan hutan dan lahan digabungkan secara komprehensif dalam pengaturan perubahan iklim yang progresif, dan skema insentif yang memadai direalisasikan.