Latar Belakang
Inventarisasi hutan bertujuan untuk pengumpulan data hutan dan informasi lain yang relevan untuk pengelolaan (maksudnya: Kesatuan Pengelolaan Hutan--KPH). Inventarisasi ini memberikan basis bagi seluruh analisis lebih lanjut dan tahapan-tahapan perencanaan yang telah ditentukan dalam rencana jangka panjang, demikian pula sebagai rencana bisnis dan pengelolaan tahunan. Penerapan metode inventarisasi hutan yang tepat dan efisien di tingkat KPH merupakan prasyarat untuk perumusan 10 tahun serta rencana pengelolaan tahunan KPH dan menjadi hal utama dalam reformasi sektor kehutanan Indonesia. Inventarisasi spesifik perlu dilakukan secara berkala rutin di KPH, resort (RPH) dan tingkat kompartemen untuk memberikan dasar bagi pengelolaan hutan dengan menentukan potensi hasil hutan dan hasil hutan bukan kayu.
Tantangan inventarisasi hutan pada tingkat KPH:
Pedoman inventarisasi yang dikembangkan sebelumnya (diterbitkan tahun 2012) serta persyaratan umum inventarisasi hutan menyebabkan tantangan dan kesulitan yang beragam di tingkat KPH:
Metodologi:
- Pedoman terdahulu, yakni “Pedoman Teknis Perencanaan Penggunaan Hutan dan Pengembangan Perencanaan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Agustus 2012” (pedoman teknis untuk melakukan inventarisasi hutan pada kawasan KPH) merekomendasikan penerapan metode inventarisasi hutan yang sama pada tingkat KPH seperti yang dikembangkan untuk Inventarisasi Hutan Nasional (IHN). Replikasi sederhana atas metode IHN nampaknya tidak cocok untuk diterapkan di KPH karena tingginya kesalahan hasil sampling. Metode sampling IHN dengan plot klaster terdiri dari 1 sampel plot (100mx100m dengan 16 unit pengukuran), sedangkan metoda 8 plot sampel sementara dengan 8 subplot masing-masing sangat memakan waktu dan mahal.
- Perusahaan pengusahaan hutan di dalam KPH saat ini menggunakan metodologi inventarisasi yang berbeda (IHMB) berdasarkan desain dengan ukuran plot 20 x 125 m persegi sehingga tepat waktu dan pelaksanaan padat karya.
Kapasitas pemangku kepentingan:
- Terbatasnya kapasitas teknis dan keuangan pada lembaga subnasional, misalnya pada 22 Unit Pelaksana Teknis (Balai Pemantapan Kawasan Hutan - BPKH) Direktorat Jenderal (Ditjen) Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), KPH, lembaga penelitian, dll.
- Masyarakat lokal sering tidak diintegrasikan secara memadai dalam pelaksanaan inventarisasi hutan lokal padahal mereka memiliki pengetahuan lokal tentang kawasan hutan dan spesiesnya.
- Kebanyakan inventarisasi hutan yang dilakukan oleh perusahaan konsesi hutan sering memiliki kepentingan utama untuk mendapatkan keuntungan besar dari penebangan kayu tetapi tidak mempertahankan jasa lingkungan dan fungsi ekosistem hutan dalam jangka panjang.
- Inventarisasi spesifik (misalnya inventarisasi karbon hutan) sering dilakukan oleh program penelitian dari perguruan tinggi, LSM atau perusahaan konsultan kecil di bidang khusus, namun jarang diintegrasikan ke dalam sistim IHN.
Mandat pemangku kepentingan:
- Mandat, peran dan tanggung jawab antara para pemangku kepentingan yang berbeda pada tingkat nasional (kementerian) dan tingkat daerah (provinsi dan kabupaten) terkait dengan pelaksanaan inventarisasi hutan, tidak selalu jelas.
- Mandat bagi kebanyakan KPH sangat kompleks yang meliputi pengelolaan hutan lestari (PHL), pengukuran pengurangan emisi (misalnya RIL, REDD +), pengelolaan daerah aliran sungai, konservasi keanekaragaman hayati, produksi kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan peningkatan mata pencaharian masyarakat. Namun, kapasitas KPH untuk memenuhi mandat ini agak rendah.
Luas dan topografi:
- Kebanyakan KPH bertanggung jawab untuk mengelola kawasan hutan yang luas dengan fungsi yang berbeda (konservasi, perlindungan, produksi), jenis kepemilikan dan hak pemanfaatan (masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, sektor swasta).
- Karena masalah luasan, kondisi ekologi dan topografi, pemanfaatn hutan lestari untuk hutan alam di Indonesia menjadi sulit. Selain itu, inventarisasi hutan memakan waktu dan tenaga intensif dan membutuhkan staf yang berdedikasi dan terampil.
Hak tenure dan pemanfaatan lahan.
- Dalam banyak kasus, batas hutan dan hak tenure kawasan hutan tidak jelas dan mengarah pada sengketa dan konflik.
- Konflik penggunaan lahan yang ada dan/atau kurangnya keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan inventarisasi hutan menjadi hambatan di beberapa kawasan hutan. Tim inventarisasi hutan sering dianggap sebagai penyusup.
FORCLIME mendukung revisi panduani inventarisasi pengelolaan hutan dalam KPH
FORCLIME mendukung Direktorat untuk Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam proses pengkajian dan revisi pedoman teknis inventarisasi pengelolaan hutan di wilayah KPH sejak 2015. Bekerja sama dengan IPSDH dan tim konsultan ForestEye dari Universitas Goettingen, Jerman, telah menyelenggarakan beberapa Diskusi Kelompok Terarah (FGD), lokakarya dan pelatihan dan kemudian akhirnya menyusun revisi pedoman teknis dan standar minimum.
Rangkaian pertemuan tersebut sebagai berikut:
- Maret 2015: Rapat Persiapan. Penilaian permasalahan dan tantangan yang ada di dalam panduan invetarisasi teknis yang ada, identifikasi personil kunci dalam KLKH dan menyiapkan peta jalan proses revisi yang dibantu oleh FORCLIME.
- April 2015: Diskusi Kelompok Terarah. Pemaparan hasil tinjauan kritis atas pedoman yang ada oleh konsultan dan rekomendasi awal alternatif rancangan sampel dan opsi-opsi untuk rancangan pengelolaan inventarisasi.
- July 2015: Informasi dan Penilaian Kebutuhan Pelatihan. Penilaian tentang tujuan sebenarnya inventarisasi pada tingkat KPH untuk mengidentifikasi informasi yang harus dikumpulkan selama pelaksanaan inventarisasi. Hubungan antara informasi inventarisasi dan rencana pengelolaan berkelanjutan merupakan hal penting. Pernyataan akan kebutuhan pelatihan disampaikan dalam beberapa lokakarya dan sesi pelatihan intensif pada bulan November.
- November 2015: Lokakarya dan Pelatihan. Staff KPH, BKPH dan KLKH membahas kemungkinan untuk meningkatkan metodologi inventarisasi dengan biaya efektif, selain untuk memperjelas perumusan tujuan inventarisasi dan sasaran sesuai kebutuhan KPH. Lokakarya satu hari diikuti pelatihan tiga hari tentang Sistem Informasi Geografis (GIS), pengelolaan data, penginderaan jarak jauh dan perangkat pengukuran hutan modern.
- Maret 2016: Lokakarya Final. Para ahli kehutanan dari KLKH, universitas, KPH, FAO dan GIZ berkumpul bersama dalam lokakarya dua hari. Peserta memberikan masukan final dan mendiskusikan pedoman standar minimum inventarisasi pengelolaan hutan di tingkat KPH yang disusun oleh FORCLIME dan Konsultan ForestEye.
- September 2016: Bentuk final standar minimum untuk pelaksanaan inventarisasi pengelolaan hutan di tingkat KPH tersedia dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
- January 2017: Keputusan Direktur Jenderal tentang pedoman teknis inventarisasi hutan dan sosial budaya dalam KPH Lindung dan KPH Produksi (Perdirjen PKTL No. 1/2017) dan buku standar minimum dengan kata pengantar dari Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Kelola Lingkungan dan direktur program FORCLIME diterbitkan.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
Tobias Goedde, Strategic Area Manager for Sustainable Forest Management (SFM)