Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU 16 tahun 2017 dan menyerahkan NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia kepada UNFCCC pada 24 September 2017. Sebagaimana diuraikan dalam NDC, Indonesia menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 29% pada tahun 2030 dalam skenario bisnis seperti biasa (business as usual-BAU) dan hingga 41% dengan dukungan internasional. Pengurangan emisi ini difokuskan pada sektor kehutanan, energi, pertanian, industri, dan pengelolaan limbah. NDC diarusutamakan melalui rencana pembangunan di semua tingkatan (tingkat nasional, provinsi, kabupaten, dan desa). Sumber pendanaan untuk rencana pembangunan ini dianggarkan di semua tingkat dan dari sumber-sumber lainnya, seperti sektor swasta dan bantuan dana internasional yang sedang berjalan.
Pendanaan NDC berbasis proyek dan berbasis sektor, dana dapat bersumber dari sumber nasional dan subnasional, hibah (pendanaan multilateral dan bilateral) dan dari sumber lain, termasuk sektor swasta. Mekanisme bilateral berasal dari Norwegia untuk REDD+, Jerman untuk efisiensi energi dan Jepang untuk efisiensi energi dan transfer teknologi melalui Joint Crediting Mechanism (JCM). Pendanaan multilateral diberikan oleh Dana Adaptasi di bawah Protokol Kyoto; Dana khusus untuk perubahan iklim dan Dana untuk negara miskin yang dikelola oleh Global Environmental Fund (GEF) dan Green Climate Fund (GCF) di bawah UNFCCC untuk adaptasi dan mitigasi. Akses ke GCF dikelola oleh Dewan GCF dan Designated National Authority (DNA) di Kementerian Keuangan. Selain itu, pendanaan multilateral non-UNFCCC dari bank pembangunan multilateral tersedia, seperti dari Bank Dunia (BioCarbon Fund) dan ADB (Mitigasi Perubahan Iklim, Program Energi Bersih, Dana dan Kemitraan).
Perkembangan terakhir mengenai pembiayaan perubahan iklim adalah pembentukan Badan Layanan Umum (BLU). BLU adalah Komite Pemandu, yang terdiri dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Keuangan. Pemantauan BLU diatur oleh sebuah tim, yang mewakili pemerintah nasional (kementerian dan lembaga) dan lembaga non-pemerintah. Penerima manfaat dapat berupa lembaga pemerintah, akademisi, peneliti, CSO dan usaha kecil (Sumber: Ir. Achmad Gunawan Widjaksono, MAS, 5 September 2017).
Apa kontribusi FORCLIME?
Sebelum adanya penggabungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, FORCLIME telah mendukung proses pengembangan kebijakan Indonesia mengenai perubahan iklim melalui Kementerian Kehutanan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan setidaknya dua elemen arsitektur REDD+ (misalnya MRV, safeguards, dan mekanisme pembagian manfaat) di tingkat nasional dan sub-nasional dalam koordinasi dengan lembaga terkait.
Selama periode 2009 hingga 2013, FORCLIME mendukung pengembangan Keputusan Menteri Kehutanan tentang lisensi karbon dan mekanisme insentifnya. Namun, peraturan itu dicabut, karena tidak ada sinkronisasi dengan pengembangan mekanisme pembiayaan di Kementerian Keuangan.
FORCLIME, bekerja sama dengan program pemerintah Jerman lainnya, PAKLIM, mendukung pengembangan Mekanisme Dana Perwalian yang disebut Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) pada tahun 2009. GIZ memberikan bantuan teknis dalam pengembangannya. ICCTF adalah dana perwalian yang dikelola secara nasional yang bertujuan untuk berkontribusi secara efektif dan efisien untuk mengarusutamakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalm perencanaan dan pelaksanaan kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang didanai pemerintah di seluruh Indonesia (sumber: situs web ICCTF). Selain itu, tugas ICCTF adalah mendistribusikan dana yang diterima untuk melaksanakan kegiatan perubahan iklim yang sesuai. Pada tahun 2015, ICCTF mendanai enam program di berbagai lokasi di seluruh Indonesia sesuai dengan fokus tematiknya: Mitigasi berbasis lahan, energi, ketahanan dan adaptasi.
Selanjutnya, FORCLIME berkontribusi pada penyusunan informasi singkat mengenai “Instrumen dan Mekanisme untuk Pendanaan Program Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca”. Informasi singkat tsb disusun oleh Kementerian Keuangan, dan melibatkan Kementerian Kehutanan dan didukung oleh proyek-proyek GIZ. Mekanisme untuk membiayai program pengurangan emisi gas rumah kaca menggunakan mekanisme dana perwalian seperti yang terlihat dalam grafik di bawah ini.
Sejak Desember 2015, FORCLIME mendukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam berbagai kegiatan terkait arsitektur REDD+ seperti Safeguards Information System (SIS), National Registry, pengembangan Forest Reference Emission Level (FREL) dan mekanisme insentif. Sebuah studi di kabupaten Malinau tentang mekanisme keuangan kabupaten di tingkat desa, yang disebut Gederma, dilakukan bekerja sama dengan Universitas Indonesia dan Research Center for Climate Change - Universitas Indonesia (RCCC-UI). Studi ini menyimpulkan kemungkinan transfer fiskal dari pemerintah nasional ke tingkat desa.
Pada tanggal 4 hingga 8 September 2017, FORCLIME bekerja sama dengan Universitas Indonesia memfasilitasi kunjungan untuk berbagi informasi mengenai mekanisme pembiayaan hijau. Dalam kunjungan ini, turut serta pejabat-pejabat senior dari DPR RI, Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BAPPENAS dan pemerintah kabupaten Berau (Kalimantan Timur), Kapuas Hulu (Kalimantan Barat) dan Sigi (Sulawesi Tengah). Delegasi dari Indonesia bertemu dengan para ahli senior India di Dehradhun dan New Delhi. 17 orang delegasi Indonesia berdiskusi dengan para pemangku kepentingan yang terlibat dalam Komisi Keuangan ke-14 mengenai keputusan pemerintah India yang menjadi tonggak penting dengan memasukkan tutupan hutan dalam rumus devolusi, yang menentukan jumlah dana domestik yang ditransfer dari pemerintah pusat ke tingkat negara bagian. Karena keputusan ini, konservasi hutan mendapatkan nilai (value) dalam mekanisme transfer keuangan. Akibatnya, sekitar enam miliar dolar AS ditransfer setiap tahun ke tingkat lokal sebagai dana tak bersyarat berdasarkan kinerja negara dalam konservasi hutan. Dari kunjungan ke India ini, para delegasi mendapatkan perspektif dan pemahaman baru tentang bagaimana menjustifikasi mekanisme transfer untuk konservasi hutan. Selain itu, para peserta kunjungan juga memperoleh gambaran umum tentang formulasi dan tata kelola kebijakan fiskal.
Langkah selanjutnya
FORCLIME akan fokus pada pengembangan lebih lanjut mengenai mekanisme fiskal untuk pendanaan hijau. Selain itu, FORCLIME akan mengadakan forum untuk membahas kemungkinan perbaikan mekanisme dan kebijakan fiskal yang akan memberi manfaat bagi kabupaten dan provinsi.
Rencana tersebut akan dikoordinasikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim dan melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan, seperti RCCUI.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Wandojo Siswanto, Manajer Area Strategis untuk Kebijakan Kehutanan
Mohammad Rayan, Advisor teknis cross-cutting issues dan conflict resolution