FORCLIME
Forests and Climate Change ProgrammeTechnical Cooperation (TC Module)
Select your language
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Komitmen Indonesia untuk melaksanakan pembangunan secara berkelanjutan diwujudkan dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) SDGs Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Pelaksanaan dan pencapaian TPB dilakukan secara partisipatif, yaitu melibatkan semua pihak.
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden tersebut, pada tanggal 9 Augustus 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Keputusan Nomor: SK.346/MENLHK/SETJEN/SET.1/8/2018 tentang Pembentukan Tim Pelaksana, Kelompok Kerja, dan Tim Pakar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2017-2019 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Keputusan menteri ini bertujuan untuk mengefektifkan dan mengoptimalkan pencapain Tujuan Pembangunan Berkelanjutan secara terpadu dan terkoordinasi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dukungan FORCLIME
Biro Perencanaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang didukung oleh FORCLIME, merupakan motor Kelompok Kerja (Pokja) TPB/SDGs. Pokja ini melakukan pertemuan setiap hari Kamis pada bulan Juni sampai September 2018. Pada setiap pertemuan, anggota Pokja mendiskusikan Matriks Target Pencapaian TPB, yang disampaikan oleh dua unit kerja (setingkat Eselon 2). Serial pertemuan tersebut menghasilkan masukan utama bagi draft matriks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan KLHK yang kemudian disusun menjadi Peta Jalan (Road Map) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
FORCLIME Kerja Sama Teknis (TC Module) berperan aktif dalam proses penyusunan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tersebut di atas, mulai dari persiapan hingga penetapannya.
Selanjutnya, FORCLIME akan mendukung Tim Pelaksana, Kelompok Kerja dan Tim Pakar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2017-2019 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengarusutamakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke dalam rencana pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan.
Roadmap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Penyusunan roadmap (peta jalan) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TPB KLHK) merujuk pada dokumen Rencana Aksi Nasional (RAN) TPB 2015-2019, Lampiran Peraturan Kepala Bappenas Nomor 7 tahun 2018. Di dalam RAN tersebut dicantumkan beberapa indikator kegiatan KLHK yang masuk ke dalam tujuh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yaitu Tujuan 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera); Tujuan 6 (Air Bersih dan Sanitasi Layak); Tujuan 9 (Industri, Inovasi dan Infrastruktur); Tujuan 11 (Kota dan Permukiman Berkelanjutan); Tujuan 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab); Tujuan 13 (Penanganan Perubahan Iklim); dan Tujuan 15 (Ekosistem Daratan). Di dalam Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan pengampu utama dalam pencapaian Tujuan 12, 13, dan 14 serta sebagai pengampu bersama kementerian lain untuk Tujuan 6 dan 11.
Dalam draft Peta Jalan TPB KLHK, dijelaskan bahwa pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di KLHK merupakan upaya pencapaian kinerja dari seluruh program yang ada dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Pembahasan terhadap pelaksanaan TPB/SDGs KLHK serta kontribusi program KLHK terhadap setiap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan diuraikan secara berurutan, baik yang tercantum di dalam RAN TPB/SDGs 2015-2019 maupun yang tidak dimasukkan dalam rencana aksi nasional tersebut.
Langkah selanjutnya
Saat ini, draft Peta Jalan TPB KLHK sudah selesai dan siap untuk ditandatangani oleh Menteri LHK, yang selanjutnya akan disosialisasikan kepada berbagai pihak terkait. Untuk kegiatan sosialisasi ini, Biro Perencanaan KLH akan melibatkan FORCLIME-TC dalam pelaksanaannya.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Wandojo Siswanto, Manajer bidang Kebijakan Kehutanan
Mohamad Rayan, Adviser Crosscutting Issues and Conflict Management
Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU 16 tahun 2017 dan menyerahkan NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia kepada UNFCCC pada 24 September 2017. Sebagaimana diuraikan dalam NDC, Indonesia menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 29% pada tahun 2030 dalam skenario bisnis seperti biasa (business as usual-BAU) dan hingga 41% dengan dukungan internasional. Pengurangan emisi ini difokuskan pada sektor kehutanan, energi, pertanian, industri, dan pengelolaan limbah. NDC diarusutamakan melalui rencana pembangunan di semua tingkatan (tingkat nasional, provinsi, kabupaten, dan desa). Sumber pendanaan untuk rencana pembangunan ini dianggarkan di semua tingkat dan dari sumber-sumber lainnya, seperti sektor swasta dan bantuan dana internasional yang sedang berjalan.
Pendanaan NDC berbasis proyek dan berbasis sektor, dana dapat bersumber dari sumber nasional dan subnasional, hibah (pendanaan multilateral dan bilateral) dan dari sumber lain, termasuk sektor swasta. Mekanisme bilateral berasal dari Norwegia untuk REDD+, Jerman untuk efisiensi energi dan Jepang untuk efisiensi energi dan transfer teknologi melalui Joint Crediting Mechanism (JCM). Pendanaan multilateral diberikan oleh Dana Adaptasi di bawah Protokol Kyoto; Dana khusus untuk perubahan iklim dan Dana untuk negara miskin yang dikelola oleh Global Environmental Fund (GEF) dan Green Climate Fund (GCF) di bawah UNFCCC untuk adaptasi dan mitigasi. Akses ke GCF dikelola oleh Dewan GCF dan Designated National Authority (DNA) di Kementerian Keuangan. Selain itu, pendanaan multilateral non-UNFCCC dari bank pembangunan multilateral tersedia, seperti dari Bank Dunia (BioCarbon Fund) dan ADB (Mitigasi Perubahan Iklim, Program Energi Bersih, Dana dan Kemitraan).
Perkembangan terakhir mengenai pembiayaan perubahan iklim adalah pembentukan Badan Layanan Umum (BLU). BLU adalah Komite Pemandu, yang terdiri dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Keuangan. Pemantauan BLU diatur oleh sebuah tim, yang mewakili pemerintah nasional (kementerian dan lembaga) dan lembaga non-pemerintah. Penerima manfaat dapat berupa lembaga pemerintah, akademisi, peneliti, CSO dan usaha kecil (Sumber: Ir. Achmad Gunawan Widjaksono, MAS, 5 September 2017).
Apa kontribusi FORCLIME?
Sebelum adanya penggabungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, FORCLIME telah mendukung proses pengembangan kebijakan Indonesia mengenai perubahan iklim melalui Kementerian Kehutanan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan setidaknya dua elemen arsitektur REDD+ (misalnya MRV, safeguards, dan mekanisme pembagian manfaat) di tingkat nasional dan sub-nasional dalam koordinasi dengan lembaga terkait.
Selama periode 2009 hingga 2013, FORCLIME mendukung pengembangan Keputusan Menteri Kehutanan tentang lisensi karbon dan mekanisme insentifnya. Namun, peraturan itu dicabut, karena tidak ada sinkronisasi dengan pengembangan mekanisme pembiayaan di Kementerian Keuangan.
FORCLIME, bekerja sama dengan program pemerintah Jerman lainnya, PAKLIM, mendukung pengembangan Mekanisme Dana Perwalian yang disebut Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) pada tahun 2009. GIZ memberikan bantuan teknis dalam pengembangannya. ICCTF adalah dana perwalian yang dikelola secara nasional yang bertujuan untuk berkontribusi secara efektif dan efisien untuk mengarusutamakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalm perencanaan dan pelaksanaan kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang didanai pemerintah di seluruh Indonesia (sumber: situs web ICCTF). Selain itu, tugas ICCTF adalah mendistribusikan dana yang diterima untuk melaksanakan kegiatan perubahan iklim yang sesuai. Pada tahun 2015, ICCTF mendanai enam program di berbagai lokasi di seluruh Indonesia sesuai dengan fokus tematiknya: Mitigasi berbasis lahan, energi, ketahanan dan adaptasi.
Selanjutnya, FORCLIME berkontribusi pada penyusunan informasi singkat mengenai “Instrumen dan Mekanisme untuk Pendanaan Program Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca”. Informasi singkat tsb disusun oleh Kementerian Keuangan, dan melibatkan Kementerian Kehutanan dan didukung oleh proyek-proyek GIZ. Mekanisme untuk membiayai program pengurangan emisi gas rumah kaca menggunakan mekanisme dana perwalian seperti yang terlihat dalam grafik di bawah ini.
Sejak Desember 2015, FORCLIME mendukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam berbagai kegiatan terkait arsitektur REDD+ seperti Safeguards Information System (SIS), National Registry, pengembangan Forest Reference Emission Level (FREL) dan mekanisme insentif. Sebuah studi di kabupaten Malinau tentang mekanisme keuangan kabupaten di tingkat desa, yang disebut Gederma, dilakukan bekerja sama dengan Universitas Indonesia dan Research Center for Climate Change - Universitas Indonesia (RCCC-UI). Studi ini menyimpulkan kemungkinan transfer fiskal dari pemerintah nasional ke tingkat desa.
Pada tanggal 4 hingga 8 September 2017, FORCLIME bekerja sama dengan Universitas Indonesia memfasilitasi kunjungan untuk berbagi informasi mengenai mekanisme pembiayaan hijau. Dalam kunjungan ini, turut serta pejabat-pejabat senior dari DPR RI, Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BAPPENAS dan pemerintah kabupaten Berau (Kalimantan Timur), Kapuas Hulu (Kalimantan Barat) dan Sigi (Sulawesi Tengah). Delegasi dari Indonesia bertemu dengan para ahli senior India di Dehradhun dan New Delhi. 17 orang delegasi Indonesia berdiskusi dengan para pemangku kepentingan yang terlibat dalam Komisi Keuangan ke-14 mengenai keputusan pemerintah India yang menjadi tonggak penting dengan memasukkan tutupan hutan dalam rumus devolusi, yang menentukan jumlah dana domestik yang ditransfer dari pemerintah pusat ke tingkat negara bagian. Karena keputusan ini, konservasi hutan mendapatkan nilai (value) dalam mekanisme transfer keuangan. Akibatnya, sekitar enam miliar dolar AS ditransfer setiap tahun ke tingkat lokal sebagai dana tak bersyarat berdasarkan kinerja negara dalam konservasi hutan. Dari kunjungan ke India ini, para delegasi mendapatkan perspektif dan pemahaman baru tentang bagaimana menjustifikasi mekanisme transfer untuk konservasi hutan. Selain itu, para peserta kunjungan juga memperoleh gambaran umum tentang formulasi dan tata kelola kebijakan fiskal.
Langkah selanjutnya
FORCLIME akan fokus pada pengembangan lebih lanjut mengenai mekanisme fiskal untuk pendanaan hijau. Selain itu, FORCLIME akan mengadakan forum untuk membahas kemungkinan perbaikan mekanisme dan kebijakan fiskal yang akan memberi manfaat bagi kabupaten dan provinsi.
Rencana tersebut akan dikoordinasikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim dan melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan, seperti RCCUI.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Wandojo Siswanto, Manajer Area Strategis untuk Kebijakan Kehutanan
Mohammad Rayan, Advisor teknis cross-cutting issues dan conflict resolution
Latar belakang dan tujuan
Dalam kerangka kerja tata kelola hutan dan persiapan rencana pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), diperlukan data dan informasi tentang potensi sumber daya hutan, karakteristik wilayah dan informasi lainnya. Untuk memperoleh data dan informasi tersebut perlu dilakukan inventarisasi hutan di wilayah masing-masing.
Penerapan metode inventarisasi hutan yang baik dan efisien di tingkat KPH merupakan prasyarat untuk perumusan rencana pengelolaan tahunan dan rencana pengelolaan 10 tahun. Inventarisasi khusus perlu dilakukan secara berkala di KPH, resort dan di tingkat kompartemen sebagai dasar dalam pengelolaan hutan dengan menentukan produk kayu dan bukan-kayu.
Selama dua tahun, mulai bulan Maret 2015 hingga bulan Januari 2017, pedoman teknis inventarisasi hutan untuk KPH direvisi secara partisipatif termasuk para ahli nasional dan internasional, pemangku kepentingan yang berbeda di tingkat nasional (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan-KLHK, universitas) dan subnasional (unit pelaksana teknis Ditjen Planologi - BPKH, KPH) yang didukung oleh FORCLIME.
Pendekatan utama dari KLHK terkait dengan revisi pedoman inventarisasi hutan adalah untuk menerapkan pedoman inventarisasi yang sesuai dengan persyaratan, sbb:
Momentum pengembangan pedoman baru inventarisasi hutan adalah diterbitkannya publikasi berjudul ’Penentuan standar minimum untuk inventarisasi pengelolaan hutan pada tingkat KPH’ yang disusun oleh tim konsultan ForestEye dari Universitas Göttingen. Standar minimum tsb merupakan masukan bagi Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) untuk merevisi pedoman teknis inventarisasi hutan. Publikasi ini berisi masukan mengenai aspek-aspek multikultural yang komprehensif dari inventarisasi pengelolaan hutan dan memberikan rekomendasi mengenai metodologi, desain dan implementasi. Masukan-masukan tersebut sangat penting bagi para pihak, termasuk staf manajemen KPH, yang terkait dengan pelaksanaan inventarisasi hutan. Pedoman teknis baru untuk inventarisasi hutan dalam KPH Produksi dan KPH Lindung diberlakukan pada bulan Januari 2017 (P.1/PKTL/IPSDH/PLA.1/1/2017: Petunjuk Teknis Inventarisasi Hutan dan Sosial Budaya pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi).
1) Uji coba di lapangan
Pada bulan Februari 2018, IPSDH melakukan uji coba untuk menguji kepraktisan panduan di lapangan. Uji coba ini dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan inventarisasi hutan di KPH Produksi dan KPH Lindung, baik mengenai aspek teknis dan administrasi, serta mendapatkan kepastian tentang sumber daya yang diperlukan sehubungan dengan waktu yang dibutuhkan, anggaran, peralatan, dan personel.
Uji coba dilakukan di wilayah kerja KPH Kapuas Hulu Utara, Kalimantan Barat.
Untuk uji coba di lapangan, dibentuk empat tim mengikuti jenis hutan yang berbeda di tiga hutan desa:
1. Hutan rawa gambut primer
2. Hutan rawa gambut sekunder
3. Hutan lahan kering primer
4. Hutan lahan kering sekunder
Setiap tim terdiri dari tujuh anggota: satu ahli inventarisasi hutan dari KLHK (IPSDH) sebagai ketua tim, dua staf dari KPH Kapuas Hulu Utara dan empat pekerja dari masyarakat setempat.
Selama uji coba di lapangan, dibuat catatan rinci yang kemudian akan digunakan untuk menganalisis kendala-kendala pengukuran saat membuat cluster dan plot, pengukuran tegakan hutan, pengalihan cluster, pengukuran produk hutan bukan kayu, keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan; berdasarkan aspek teknis seperti waktu, peralatan, dan personel sesuai dengan pedoman inventarisasi hutan.
FORCLIME mendukung mulai dari persiapan, implementasi, hingga tindak lanjut dari uji lapangan.
2) Evaluasi hasil uji coba di lapangan
Hasil uji coba di lapangan dan panduan yang telah direvisi disampaikan dalam Diskusi Kelompok Fokus (FGD) pada tanggal12-13 April 2018 di Bogor. FGD ini bertujuan untuk mengevaluasi aspek teknis dan efisiensi konsep teknis serta keterlibatan BPKH dan direktorat terkait dalam rangka menyempurnakan pedoman inventarisasi hutan dan sosial-budaya.
Dalam FGD, diskusi meliputi kebutuhan untuk amendemen pedoman inventarisasi teknis serta pedoman inventarisasi sosial-budaya. Selama FGD perwakilan dari sebagian besar unit pelaksana teknis (BPKH) dari seluruh Indonesia, IPSDH, Balai Diklat Lingkungan dan Kehutanan (BD LHK) Bogor, Institut Pertanian Bogor dan FORCLIME membahas temuan dari uji coba di lapangan serta pengalaman pertama dari penerapan pedoman di beberapa KPH di Sulawesi dan Maluku. Lebih dari 20 masukan untuk amandemen pedoman dikumpulkan untuk perbaikan pedoman inventarisasi.
3) Pembelajaran dan langkah selanjutnya
FGD untuk mengevaluasi pedoman inventarisasi hutan teknis, pedoman inventarisasi sosio-budaya dan standar kegiatan dan biaya menghasilkan banyak masukan berharga sebagai bahan pertimbangan untuk merevisi pedoman tersebut. Pada saat yang sama, terjadi pertukaran pengetahuan diantara BPKH yang hadir karena adanya pekerjaan yang berbeda (misalnya kondisi hutan).
Hasil uji coba di lapangan memberikan informasi berharga sehubungan dengan menyusun perencanaan yang realistis kegiatan inventarisasi di lapangan.
Input untuk merevisi pedoman telah dikumpulkan dan kemudian akan digunakan sebagai dasar untuk amandemen pedoman inventarisasi hutan dan sosial budaya oleh Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH), Ditjen Perencanaan Kehutanan dan Tata Lingkungan. Hasil dari uji coba ini akan menghasilkan panduan baru bagi KPH untuk memastikan proses perencanaan yang tepat dan hasil perencanaan yang dapat diandalkan sebagai dasar untuk pengelolaan hutan lestari di Indonesia.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Moritz Zetzmann, Advisor bidang pengelolaan hutan, Putussibau, Kalimantan Barat
Stephanie Wegscheider, Advisor bidang GIS, Jakarta
Kalimantan Timur merupakan salah satu perintis provinsi yang memulai pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Kegiatan tersebut dimulai sejak tahun 2007 ketika pembangunan KPH model pertama dikembangkan. Tiga KPH model pertama, yaitu Berau Barat, Tarakan dan Bulungan, dibangun di Kalimantan Timur, hingga terbentuknya provinsi baru Kalimantan Utara, yang memisahkan KPH Tarakan dan KPH Bulungan dari Kalimantan Timur. Saat ini, provinsi Kalimantan Timur yang bertanggung jawab untuk mengembangkan 21 KPH terdiri dari 18 KPH Produksi, 2 KPH Lindung dan 1 KPH Konseravsi (Taman Hutan Raya).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membentuk 529 KPH untuk mengelola hutan negara secara lebih baik. Pembentukan KPH didasarkan pada dominasi fungsi hutannya, yaitu dalam bentuk KPH Produksi (KPHP) pada hutan produksi dan KPH Lindung (KPHL) pada hutan lindung dan KPH Konservasi (KPHK) terutama pada hutan konservasi. Pemerintah telah menargetkan pada tahun 2020, akan terbangun 600 KPHP dan KPHL dan, setidaknya, 100 KPHK dan beroperasi. FORCLIME memberikan dukungan terus menerus pada pengembangan KPH di Indonesia, terutama di kabupaten wilayah kerjanya, yaitu: Berau Barat, Malinau dan Kapuas Hulu. Setelah UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana otoritas pengelolaan hutan diintegrasikan ke tingkat provinsi, dukungan FORCLIME diperluas untuk memperkuat pengembangan KPH di tingkat provinsi.
Dukungan FORCLIME terhadap pengembangan KPH di tingkat provinsi mencakup peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, pengembangan organisasi dan penguatan kelembagaan, dukungan untuk memfasilitasi proses perencanaan dan kapasitas, pembentukan "Pusat KPH" sebagai platform komunikasi, dan lain-lain. Upaya untuk mendukung provinsi dalam Pembangunan KPH telah disinergikan dengan mitra yang berbeda seperti Global Green Growth Institute (GGGI), The Nature Conservancy (TNC), Worldwide Fund for Conservation of Nature (WWF Indonesia), mitra lokal dan juga Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI).
Mengapa KPH menyusun roadmap?
Kebutuhan pembentukan KPH menjadi lebih jelas karena pergeseran kewenangan hutan dari tingkat kabupaten ke provinsi dan nasional, yang menyebabkan tidak ada lagi lembaga kehutanan di tingkat lapangan selain KPH. Fakta ini membawa konsekuensi untuk mengoperasikan semua KPH sesegera mungkin. Pada saat yang sama, Kalimantan Timur menetapkan komitmen yang lebih besar terhadap kegiatan-kegiatan terkait dengan pembangunan berkelanjutan dan tindakan mitigasi perubahan iklim. Dengan demikian mengharuskan pendirian KPH sebagai prasyarat.
Agar memiliki arah yang jelas ke depan, untuk menetapkan target SMART dan untuk mengonsolidasikan sumber daya potensial menuju operasi penuh KPH, provinsi Kalimantan Timur mengembangkan roadmap yang disebut "Roadmap Percepatan Pembangunan KPH”. Roadmap ini dimulai dari identifikasi persyaratan untuk dapat menjadi KPH independen dan penyusunan rencana untuk mencapainya. Roadmap ini juga berfungsi sebagai panduan bersama bagi para pemangku kepentingan terkait dalam mendukung pembangunan KPH di Kalimantan Timur.
Apa itu Roadmap Pembangunan KPH?
Roadmap "Percepatan KPH" didasarkan pada lima pilar untuk membangun "KPH Mandiri" yang merupakan tujuan akhir. Lima pilar ini mewakili lima kondisi dimana KPH dapat dianggap berjalan dengan baik, yaitu:
Kelima pilar tersebut diuraikan ke dalam rangkaian kriteria dan indikator yang tingkat pencapaiannya akan diukur, diikuti oleh rencana tindakan dan milestone untuk rentang waktu yang berbeda (jangka pendek, menengah dan panjang). Roadmap tersebut bertujuan untuk menjadi peta tunggal yang bisa digunakan oleh semua pemangku kepentingan di Kalimantan Timur dalam mendukung pembangunan KPH saat ini untuk menuju KPH mandiri.
Pembelajaran dan langkah ke depan
Pembangunan KPH merupakan tantangan besar bagi provinsi karena keterbatasan sumber daya, pengalaman dan kapasitas sumber daya manusia. Dalam hal ini, pengembangan KPH perlu pendekatan tahap demi tahap yang bijaksana untuk mencapai tujuan akhir. Pendekatan tersebut memerlukan rencana tindakan dan milestone yang jelas untuk memastikan kemajuan perkembangannya. Roadmap ini juga harus menjadi dokumen dasar bagi para mitra yang bertujuan untuk mendukung pembangunan KPH di provinsi Kalimantan TImur, termasuk lembaga pemerintah.
Roadmap KPH menggambarkan target dan tindakan untuk pembangunan yang dibutuhkan sehingga pemangku kepentingan dapat menyesuaikan rencana aksi dan dukungan mereka.
Namun roadmap tersebut perlu dipantau. Sebagai bagian dari roadmap, mitra di Kalimantan Timur melalui "KPH Center", berupa kelompok kerja akan mengembangkan sistem pemantauan berbasis komputer/web, dimana kemajuan roadmap dapat diukur secara kuantitatif.
Selain proses pemantauan, status legal atau resmi dari roadmap tersebut juga diperlukan. Untuk itu, pemerintah Kalimantan Timur berencana menerbitkan road map ini sebagai Peraturan Gubernur.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Duratmo Momo, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur
Tunggul Butarbutar, Advisor teknis bidang pengelolaan hutan lestari, Koordinator Provinsi Kalimantan Timur
Sejak 2013 dua program GIZ, yaitu Forest Governance Programme (FGP) dan Forests and Climate Change Programme (FORCLIME) telah bekerja bersama di Indonesia untuk meningkatkan tata kelola hutan dan memperkuat akses masyarakat lokal atau masyarakat adat atas sumber daya hutan.
Bagaimana FORCLIME mendukung konflik kehutanan?
Kedua program GIZ tersebut bekerja bersama dengan lembaga multipihak Working Group on Forest Land Tenure (WGT) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan pemetaan hutan adat, hak atas lahan dan konflik terkait. Selain itu, mengembangkan mekanisme inovatif untuk resolusi konflik pada tingkat lokal di Kabupaten Berau dan Kapuas Hulu di Kalimantan.
Apa yang telah dilakukan?
Terkait dengan resolusi konflik atas lahan dan hutan, berikut ini adalah hasil yang telah dicapai:
Langkah Berikutnya
Desk Resolusi Konflik Lahan (DRKL) membuka peluang signifikan untuk membangun kapasitas staf, selain mengembangkan hubungan dan kordinasi yang lebih efektif antar lembaga dan organisasi yang berwenang atas pengelolaan sumber daya alam. DRKL harus menjaga netralitas, menetapkan mandat dan penugasan yang jelas, mempromosikan integrasi dengan lembaga dan inisiatif lain, termasuk peran yang lebih besar dan pendanaan khusus untuk koordinasi dan mediasi konflik. FORCLIME akan mendukung DRKL selama fase uji coba tiga tahun sampai dengan akhir 2019. Fokus pada tahap awal adalah melakukan ujicoba mediasi serta mendokumentasikan proses dan hasilnya. Cara-cara mediasi harus diidentifikasi untuk berbagi pelajaran dengan masyarakat yang lebih luas. Komunitas Penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam (KPKSDA) dan tim Penasihat Teknis CRU memberikan kesempatan segera untuk mencapai tujuan tsb.
Selanjutnya, DSKL memerlukan dukungan untuk mengembangkan sistem online dan basis data untuk menerima laporan tentang konflik dan merujuknya kepada pihak berwenang.
Pemda Kabupaten Kapuas Hulu perlu mencari peluang-peluang pendanaan berkelanjutan untuk melakukan koordinasi dan mediasi konflik
Selanjutnya, pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu perlu mencari pilihan untuk pendanaan berkelanjutan koordinasi dan mediasi konflik. WGT dan FORCLIME memastikan bahwa kegiatan, pengembangan dan pembelajaran yang didapat akan dikomunikasikan dengan pejabat terkait yang berwenang di tingkat nasional dan masukan terkait dengan resolusi konflik akan disampaikan untuk penyusunan keputusan hukum dan kebijakan nasional di masa depan.
Pada akhirnya, pengalaman dan pembelajaran selama fase percontohan dapat direplikasi di kabupaten percontohan wilayah kerja FORCLIME