FORCLIME
Forests and Climate Change ProgrammeTechnical Cooperation (TC Module)
Select your language
Latar Belakang
Inventarisasi hutan bertujuan untuk pengumpulan data hutan dan informasi lain yang relevan untuk pengelolaan (maksudnya: Kesatuan Pengelolaan Hutan--KPH). Inventarisasi ini memberikan basis bagi seluruh analisis lebih lanjut dan tahapan-tahapan perencanaan yang telah ditentukan dalam rencana jangka panjang, demikian pula sebagai rencana bisnis dan pengelolaan tahunan. Penerapan metode inventarisasi hutan yang tepat dan efisien di tingkat KPH merupakan prasyarat untuk perumusan 10 tahun serta rencana pengelolaan tahunan KPH dan menjadi hal utama dalam reformasi sektor kehutanan Indonesia. Inventarisasi spesifik perlu dilakukan secara berkala rutin di KPH, resort (RPH) dan tingkat kompartemen untuk memberikan dasar bagi pengelolaan hutan dengan menentukan potensi hasil hutan dan hasil hutan bukan kayu.
Tantangan inventarisasi hutan pada tingkat KPH:
Pedoman inventarisasi yang dikembangkan sebelumnya (diterbitkan tahun 2012) serta persyaratan umum inventarisasi hutan menyebabkan tantangan dan kesulitan yang beragam di tingkat KPH:
Metodologi:
Kapasitas pemangku kepentingan:
Mandat pemangku kepentingan:
Luas dan topografi:
Hak tenure dan pemanfaatan lahan.
FORCLIME mendukung revisi panduani inventarisasi pengelolaan hutan dalam KPH
FORCLIME mendukung Direktorat untuk Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam proses pengkajian dan revisi pedoman teknis inventarisasi pengelolaan hutan di wilayah KPH sejak 2015. Bekerja sama dengan IPSDH dan tim konsultan ForestEye dari Universitas Goettingen, Jerman, telah menyelenggarakan beberapa Diskusi Kelompok Terarah (FGD), lokakarya dan pelatihan dan kemudian akhirnya menyusun revisi pedoman teknis dan standar minimum.
Rangkaian pertemuan tersebut sebagai berikut:
Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
Tobias Goedde, Strategic Area Manager for Sustainable Forest Management (SFM)
Latar Belakang
Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan menyelimuti kedua wilayah tersebut dengan kabut dan menimbulkan ancaman nyata bagi kesehatan manusia. Selain itu, kebakaran hutan juga berkontribusi nyata terhadap hilangnya keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh deforestasi dan perubahan penggunaan lahan. Terutama kebakaran lahan gambut sangat mempengaruhi kesehatan masyarakat di kedua provinsi tersebut dan negara-negara tetangga dan merupakan sumber terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu dari banyak negara yang berjuang melawan seringnya kebakaran hutan dan lahan di wilayah rawan kebakaran. Di Afrika Selatan, kebakaran hutan merupakan fenomena alam yang terjadi setiap tahun selama dua musim kemarau.
Afrika Selatan mengembangkan sistem yang sangat profesional untuk pengelolaan api terintegrasi (Integrated Fire Management - IFM), berpusat di program Working on Fire (WOF). WOF adalah program yang didanai pemerintah, melalui Expanded Public Works Programme (EPWP) yang merekrut dan melatih pemuda dan pemudi dari masyarakat setempat. Anggota masyarakat dipekerjakan dan dilatih untuk membentuk pasukan pemadam kebakaran lahan dengan menerapkan IFM.
Meskipun ekosistem di Afrika Selatan dan Indonesia sangat berbeda, aspek-aspek tertentu dari Program WOF mungkin dapat ditransfer ke dalam konteks Indonesia dan belajar dari sistem manajemen api terintegrasi Afrika Selatan yang sangat canggih untuk dapat mendukung pengembangan inisiatif pengelolaan kebakaran dan keberhasilan pengelolaan kebakaran di Indonesia.
Ringkasan
Pertukaran tenaga ahli pengelolaan kebakaran lahan dan hutan, termasuk kesiapan menangani api, pencegahan dan penanganannya antara Indonesia dan Afrika Selatan telah dilaksanakan pada tanggal 21 sampai dengan 28 Agustus 2016. Kegiatan ini diselenggarakan bersama antara FORCLIME dan UNOPS/GAMBUT. Delegasi Indonesia menghadiri pemaparan dan mengunjungi WOF, asosiasi perlindungan api (Fire Protection Associations - FPAs), masyarakat peduli api (FireWise communities), isntalasi Firehawk dan pusat pelatihan Kishugu di Pietermaritzburg, Nelspruit dan kawasan taman Kruger.
Tujuan dari pertukaran ini adalah untuk memberi para pihak Indonesia, di tingkat nasional dan provinsi, dengan informasi langsung termasuk pengalaman dalam menerapkan sistem pengelolaan api (IFM) yang diterapkan di Afrika Selatan. Dalam kunjungan ini juga dipelajari kemungkinan sinergi skema kemitraan pemerintah-swasta (Public Private Partnerships), penyusunan peraturan, pembiayaan IFM dan pengembangan Fire Protection Associations (FPA) pada tingkat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Tujuan
Tujuan dari pertukaran teknis ini adalah untuk memberikan informasi secara langsung dan penjabaran mengenai pengalaman program WOF di Afrika Selatan kepada para pihak Indonesia yang berasal dari tingkat nasional dan provinsi. Selain itu, untuk mendorong diskusi tentang aspek-aspek yang dapat diterapka/ditranser dari model WOF ke dalam konteks Indonesia. Kegiatan seperti ini dapat mengarahkan pada pembentukan kemitraan bantuan teknis antara WOF dan mitra Indonesia - kemitraan yang memberikan kontribusi nyata terhadap perbaikan sistem manajemen api di Indonesia.
Pengalaman hasil kunjungan terkait dengan model WoF
Pertama, program WOF memberikan masukan dan rekomendasi yang berharga untuk reformasi perekrutan dan pelatihan pemadam kebakaran hutan Indonesia. Seperti ditunjukkan di atas, untuk mememperoleh tenaga pemadam kebakaran hutan yang memadai di Sumatera dan Kalimantan, ribuan orang harus direkrut dan dilatih di tahun-tahun mendatang. Peserta mengamati bahwa program WOF awalnya dimulai sebagai penciptaan lapangan kerja dan kegiatan sosial yang kemudian dikontrakkan kepada perusahaan swasta (KISHUGU) untuk pelaksanaan dan pengelolaannya. Selain itu, peserta juga sepaham akan pentingnya penelitian mengenai pengelolaan kebakaran dan tindakan terhadap lingkungan yang terkena dampak.
Kedua, program WOF menunjukkan bahwa manajemen kebakaran dapat dikombinasikan dengan upaya pengembangan sosial – tidak hanya di antara para pemadam kebakaran, tetapi juga dengan masyarakat dari mana mereka direkrut. Di satu sisi, pemadam kebakaran hutan Indonesia bisa menjadi pendukung untuk penyadaran akan resiko kebakaran di kalangan komunitas mereka. Selama bukan musim kebakaran hutan, mereka dapat melaksanakan pencegahan kebakaran dan menyusun strategi mitigasi serta membantu masyarakat lokal untuk lebih memahami risiko kebakaran, memberikan keterampilan dasar dalam merespon api dan membuat mereka menyadari manfaat berkelanjutan lingkungan mereka. Para peserta benar-benar dimulai pada peningkatan komunikasi di antara pemangku kepentingan manajemen kebakaran, baik itu sektor swasta atau lembaga pemerintah.
Ketiga, mekanisme pendanaan WOF mungkin dapat ditiru untuk konteks Indonesia. WOF didanai baik oleh pemerintah dan oleh kontribusi dari pemilik tanah swasta (konsesi kehutanan, pertanian dan peternakan) melalui apa yang disebut Asosiasi Perlindungan Api (FPA). Sementara keanggotaan dalam asosiasi ini adalah wajib bagi pemilik lahan publik dan sukarela untuk pemilik tanah swasta, yang didorong untuk berpartisipasi dalam FPAs melalui insentif hukum, sehingga membuat mereka menjadi sumber utama pendanaan untuk pelaksanaan sistem IFM. Lebih tepatnya, pemilik tanah Afrika Selatan menghadapi tugas yang mengikat untuk pencegahan dan penanganan api. Dengan demikian, mereka juga bertanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan oleh api yang muncul atau menyebar dari lahan mereka, kecuali orang yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa ia tidak lalai (praduga kelalaian). Di sini peserta diperkenalkan pada aspek penegakan hukum dan undang-undang yang mendasari IFM. Namun, anggapan kelalaian tidak berlaku untuk anggota FPA. Model FPA sangat relevan untuk dikombinasikan dengan pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang saat ini sedang dilaksanakan di Indonesia. Pertemuan tindak lanjut direncanakan akan dilakukan dengan Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
Keempat, saat ini manajemen kebakaran di Indonesia terutama fokus pada pemadaman kebakaran. Namun kegiatan supresi hanya salah satu dari banyak komponen IFM. Model WOF mengenai penyadaran masyarakat mungkin dilakukan untuk konteks Indonesia. Selain itu, pelibatan pemuda setempat dalam upaya pemadaman kebakaran, WOF telah mengembangkan program Komunitas Firewise yang dapat dimplementasikan di masyarakat pedesaan dan masyarakat yang tergantung hutan sebagai mata pencaharian mereka. Penyadartahuan dan pendidikan model seperti ini dapat mendukung program penyadartahuan berbasis masyarakat yang dikoordinasikan secara nasional untuk menjangkau dan melibatkan semua lapisan masyarakat Indonesia dalam mencegah terjadinya kebakaran lahan sebelum terjadi. Hal ini sangat relevan di Indonesia di mana berbagai instansi dan perusahaan telah melakukan berbagai program kesadaran masyarakat dan sering menimbulkan pesan yang bertentangan kepada masyarakat. Oleh karena kesamaan kondisi sosial-ekonomi di masyarakat, program WOF Firewise memberikan konsep yang efektif untuk integrasi dan kolaborasi dengan masyarakat dalam sistem IFM.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Tobias Goedde, Manajer bidang strategis, Pengelolaan Hutan Lestari
FORCLIME melanjutkan kerja sama dan pengembangan kapasitas terkait dengan pengelolaan hutan lestari melalui sertifikasi hutan (SVLK/PHPL/FSC) di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Berau Barat bersama dengan The Borneo Initiative (TBI) dan The Nature Conservancy (TNC). Tim gabungan ini melakukan kunjungan lapangan di tiga konsesi hutan yang berada dalam wilayah KPH Berau Barat pada tanggal 28 September hingga 7 Oktober 2016. Ketiga konsesi hutan yang dikunjungi adalah PT. Utama Damai Timber (UDIT), PT. Wana Bhakti Utama (WBPU) dan konsesi yang telah memiliki sertifikasi dari FSC, yaitu PT. Gunung Gajah Abadi (GGA). Kegiatan ini, yang merupakan bagian dari dukungan FORCLIME di bawah bidang strategis Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), dilakukan di wilayah KPH Berau Barat, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Dukungan FORCLIME kepada perusahaan konsesi hutan untuk mendapatkan sertifikat dengan skema mandatori SVLK/PHL dan Forest Stewardship Council (FSC) telah dilakukan sejak tahun 2013.
Pelaksanaan pengelolaan hutan lestari dan pembangunan KPH dilakukan secara intensif bersama dengan lembaga sertifikasi yang bertujuan untuk melibatkan masyarakat dan pihak swasta. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan termasuk pelatihan teknis, kajian dampak sosial dan partisipasi masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut, yang tujuannya untuk mendapatkan sertifikasi hutan, sedang dimonitor dan disupervisi oleh tenaga ahli bidang sertifikasi hutan. Pemberian sertifikasi hutan sangat tergantung dari perkembangan konsesi hutan dan pengalamannya dalam pengelolaan hutan lestari, proses untuk mendapatkan sertifikasi pengelolaan hutan lestari bervariasi pada masing-masing perusahaan. Beberapa faktor penentu adalah pengalaman dan investasi awal (misalnya hutan dan infrastruktur awal di hutan produksi alam), artinya ada perbedaan utama terkait dengan durasi operasionalisasi konsesi hutan; beberapa sudah beroperasi lebih dari 30 tahun, sementara konsesi lainnya baru mulai lima tahun yang lalu.
Dalam hal operasionalisasi hutan dan pembalakan rendah dampak untuk mengurangi emisi (Reduced Impact Logging to reduce emissions - RIL-C), ketiga konsesi tersebut telah menerima pelatihan penuh mengenai RIL. Hasil dari kegiatan ini adalah paling tidak terjadi pengurangan emisi 25% pada wilayah seluas 136,000 ha, menurut metoda Verified Carbon Standard (VCS) yang dinyatakan oleh TNC.
Tim lapangan mengamati bahwa ketinggian air sungai memainkan peran penting dalam pengangkutan kayu, yang akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan perusahaan. Banyak perusahaan konsesi bergantung pada kelayakan praktik pembuatan rakit log (rafting) berdasarkan kondisi sungai. Tingkat air sungai yang rendah menyebabkan lamanya periode penyimpanan kayu di sungai. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas log yang akhirnya mempengaruhi harga penjualan. Peristiwa alam lainnya, seperti curah hujan yang tidak teratur memiliki dampak besar terhadap kelancaran pengangkutan kayu, yang kemudian mempengaruhi keberlanjutan pembalakan di hutan alam produksi. Pengakutan kayu melalui jalan darat dapat menjadi pilihan untuk beberapa konsesi hutan, tetapi tidak untuk semua konsesi. Selain itu, medan yang menantang di daerah pegunungan dan pola curah hujan secara signifikan mempengaruhi kegiatan penebangan kayu. Hujan deras dapat menghentikan kegiatan penebangan, menunggu sampai cuaca cerah dan mengeringnya jalur angkut, sehingga dapat dilalui dengan aman oleh mesin dan truk pengangkut kayu tebangan.
Bagi log yang bersertifikat FSC, manajer di perusahaan konsesi hutan melaporkan bahwa log mendapatkan harga premium. Dalam beberapa kasus, pembeli membayar harga premium hingga 10% berdasarkan permintaan klien mereka.
Hasil kunjungan ke lokasi pembibitan pohon di wilayah konsesi hutan dan observasi lapangan menunjukkan bahwa akan tersedia secara berkelanjutan bibit dengan perbedaan kelas umur dan diameter serta komposisi jenis pohon untuk beberapa dekade ke depan di hutan alam produksi. Hal ini menjelaskan bahwa perusahaan telah melakukan reboisasi dan pengayaan pohon di hutan mereka dengan 'spesies pohon komersial' seperti yang dapat dilihat di dalam dokumen inventarisasi hutan. Spesies asli yang tumbuh cepat ditanam di ruang terbuka di luar blok tebang.
Sistem silvikultur dan pembatasan penebangan saat ini didasarkan pada jenis, diameter target dan siklus rotasi penebangan (30 tahun). Umur pohon, komposisi hutan dan rendemen (tahunan) umumnya berdasarkan kategori spesies dan sering kali tidak didokumentasikan dan atau tidak dianalisis karena informasi tersebut yang tidak diperlukan untuk mendapatkan izin penebangan.
Wilayah KPH Berau Barat mencakup sekitar 780.000 hektare. Hampir 50% dari wilayahnya dikategorikan sebagai hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi (HP). Di dalam wilayah KPH Berau Barat terdapat 12 konsesi hutan (hutan alam/hutan tanaman). Oleh karena itu, pelaksanaan pengelolaan hutan lestari di wilayah konsesi hutan merupakan indikator penting dan krusial untuk aksi mitigasi perubahan iklim.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Tobias Goedde, Manajer bidang Strategis, Pengelolaan Hutan Lestari
Suprianto, Advisor Teknis Pembangunan KPH, Kantor Berau
Menanggapi akan meningkatnya permintaan untuk mengarusutamakan gender dalam setiap sektor, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menginisiasi sebuah proses untuk mengarusutamakan gender di sektor kehutanan dan meminta dukungan teknis FORCLIME. Pengarusutamaan gender di konteks pembangunan bertujuan memperbaiki kualitas partisipasi dan pemanfaatan dalam proses pembangunan bagi perempuan, laki-laki dan grup marjinal lainnya. Pada bulan Maret 2014, Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (Pokja PUG) KLHK meminta dukungan FORCLIME terkait dengan beberapa kegiatan, seperti:
• mengintegrasikan pengarusutamaan gender ke dalam Rencana Strategis (Renstra) Kehutanan 2015-2019.
• menyusun “Program kehutanan dan perubahan iklim yang responsif gender”,
• merevisi Keputusan Menteri mengenai “Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender”, dan
• mengimplementasikan dan memfasilitasi untuk mendokumentasikan pembelajaran dari kegiatan model pengarusutamaan gender di area percontohan di Kalimantan.
Bagaimana FORCLIME mendukung pengarusutamaan gender?
FORCLIME mendukung Pokja PUG KLHK dalam memasukan aspek gender ke dalam Rencana Strategis Kementerian (RENSTRA 2015-2019) serta implementasi di lapangan. Hal ini termasuk juga pembentukan kegiatan demonstrasi di tingkat sub-nasional yang mengimplementasikan pendekatan multilevel “Dialog Warga”, sebuah pendekatan yang dihasilkan program kerja sama GIZ lainnya, yaitu Penguatan Hak-Hak Perempuan (Strengthening Women Rights-SWR), yang dilaksanakan dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA).
Apa yang telah FORCLIME lakukan?
1. FORCLIME mendukung KLHK dan KPPA dalam mendiseminasikan isu-isu gender dan metode pendekatan ‘Dialog Warga’ bagi 50 pejabat pemerintah di Kabupaten Sumba Timur, 30 pejabat di Kabupaten Agam, dan 30 pejabat di Provinsi Sumatera Barat, 25 pejabat pemerintah di Kabupaten Berau (Provinsi Kalimantan Timur) dan 20 pejabat Kabupaten Malinau (Provinsi Kalimantan Utara).
2. FORCLIME mendukung KLHK dan KPPA dalam melaksanakan pelatihan mengenai pengarusutamaan gender kepada 60 petani (yang termasuk dalam kelompok-kelompok petani) di Kabupaten Sumba Timur dan 50 petani dari Kabupaten Agam. Selain itu, dalam rangka peningkatan kesadaran tentang pengarusutamaan gender dan perlindungan anak, fasilitasi juga dilakukan kepada petani dari Kabupaten Berau (50 petani Desa Tepian Buah dan 30 petani Desa Long Okeng) serta Kabupaten Malinau (35 petani Desa Setulang). Pendekatan yang dilakukan, selain kerangka konseptual GIZ untuk pengarusutamaan gender, juga pendekatan Dialog Warga dari Proyek Penguatan Hak-Hak Perempuan (Strengthening Women Rights-SWR).
3. FORCLIME membantu penyusunan revisi Keputusan Menteri SK Menhut No.528/Menhut-II/Peg/2004 tentang "Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender".
4. FORCLIME, bersama-sama dengan Pokja PUG KLHK, telah melatih sedikitnya 100 pegawai KLHK mengenai gender; pengarusutamaan gender; serta perencanaan, penganggaran dan audit responsif gender. Para auditor ini akan memiliki peran untuk mengaudit semua unit di KLHK terkait dengan program berbasis gender dan kegiatan yang dituangkan dalam perencanaan dan penganggaran kementerian. Audit berbasis pengarusutamaan gender akan diterapkan pada tahun 2016, dengan demikian kinerja semua unit di kementerian akan diukur berdasarkan pelaksanaan kegiatan yang responsif terhadap gender. Proses audit ini akan terus dilaksanakan dalam jangka menengah dan jangka panjang seperti yang diamanatkan dalam undang-undang.
5. FORCLIME mendukung mitranya KLHK sebagai penandatangan COP dari UNFCCC, dalam proses merumuskan posisi Indonesia dalam "Perubahan Iklim, Kehutanan dan Gender" yang dipresentasikan pada COP 21 di Paris tahun 2015.
Apa dampak kegiatan kami?
• Gender telah diarusutamakan dalam strategi nasional: FORCLIME telah mendukung KLHK dalam menyusun rencana strategis kehutanan nasional (Renstra) 2015-2019 yang telah mengintegrasikan isu gender di dalamnya. KLHK telah mengalokasikan anggaran yang responsif gender untuk tahun 2014 sebesar Rp 30.081.042.000 dan penganggaran untuk kegiatan gender selama lima tahun ke depan akan dialokasikan sebagaimana dimaksud dalam Renstra. Untuk memastikan pelaksanaan kegiatan yang responsif gender, Pokja PUG bersama FORCLIME telah melatih lebih dari 100 auditor dari Inspektorat Jenderal mengenai pengarusutamaan gender terkait dengan cara mengaudit perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan kegiatan. Audit berbasis gender memiliki dasar hukum dan akan dilaksanakan pada tahun 2016. Semua unit di KLHK akan diukur atas keberhasilannya dalam mengintegrasikan kegiatan responsif gender ke dalam kerangka perencanaan kegiatan.
• Efek multiplier: Melalui kegiatan gender yang didukung oleh FORCLIME, telah dilatih 25 gender fasilitator dengan metoda training of trainers (ToT), yang kemudian akan melanjutkan pelatihan gender kepada 155 pejabat pemerintah dan 215 petani di tingkat lapangan. Selain itu, dalam dialog Selatan-Selatan, pembelajaran dari pengarusutamaan gender di KLHK didiskusikan dan dibahas bersama 50 peserta dari proyek GIZ Brasil pada 22 Juli 2015.
• Pengakuan atas kerja sama: Pada kompetisi penilaian antar kementerian, Pemerintah Indonesia menghadiahkan KLHK “Anugrah Parahita Ekapraya” untuk upaya pengimplementasian pengarusutamaan gender kedalam dokumen perencanaan dan kegiatan. Sebagai hasil dari dukungan dan kolaborasi, pada tahun 2016 KLHK kemungkinan akan naik ke level 1 untuk hadiah diatas yang diberikan setiap tahun kepada kementerian-kementerian yang telah mengimplementasikan pengarusutamaan gender. FORCLIME juga memenangkan hadiah pertama untuk kompetisi “GIZ Communicating Gender Award” 2015 yang diadakan oleh GIZ Indonesia, Timor Leste and ASEAN.
Langkah Berikutnya
FORCLIME akan tetap mendukung Pokja PUG KLHK dalam implementasi pengarusutamaan gender dengan fokus penekanan kebersinambungan pengarusutamaan gender melalui kebijakan dan monitoring serta evaluasi yang akan melibatkan auditor dan inspektorat.
Untuk mengetahui kegiatan terkait gender yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat dilihat disini.
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat beroperasi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007. Salah satu persyaratannya adalah mengembangkan investasi yang dapat mendukung pencapaian tujuan pengelolaan hutan lestari. Oleh karena itu, KPH harus memiliki sistem manajemen keuangan yang memadai, selain sistem penganggaran yang sudah ada dalam rencana anggaran pemerintah nasional dan daerah (APBN atau APBD).
FORCLIME melakukan pendampingan dalam proses penerapan sistem manajemen keuangan bagi KPH di Indonesia selama beberapa tahun ini, khususnya KPH Gularaya di Provinsi Sulawesi Tenggara. Melalui bantuan fasilitasi dan bimbingan FORCLIME, beberapa milestone telah dicapai sebagaimana berikut ini.
Milestone pertama: Pada awal tahun 2012, FORCLIME mendukung pelaksanaan studi mengenai ‘Konsep Kebijakan Investasi dan Sistem Manajemen Keuangan bagi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)’. Telaahan ini dilakukan oleh sebuah tim dengan berbagai keahlian di bidang kehutanan dan administrasi publik dan keuangan. Kajian ini selesai pada bulan Agustus 2012. (Tim studi terdiri dari: Bramasto Nugroho; Sudarsono Soedomo, Handra Hefrizal; Agus Setyarso, Guido Kartodihardjo, Ali Djajono).
Milestone kedua: FORCLIME mendukung penyusunan dan penerbitan buku "PPK-BLUD - Menuju KPH Mandiri" (edisi 1 September 2013).
Milestone ketiga: FORCLIME menginisiasi percobaan pelaksanaan PPK-BLUD di Gularaya KPH Produksi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Uji coba dilakukan Juni 2013
Milestone keempat: FORCLIME melakukan proses fasilitasi secara intensif di Gularaya KPH Produksi pada periode bulan Maret sampai Mei 2014 bekerja sama dengan akademisi lokal dari Universitas Halu Oleo Kendari. Tujuan dari proses fasilitasi ini adalah untuk menyiapkan dokumen yang diperlukan dalam penerapan system PPK-BLUD di KPH Gularaya.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama periode tersebut, termasuk:
Milestone kelima: Capaian terbesar adalah diterbitkannya Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tenggara No. 636 tahun 2014 tentang pembentukan Tim Penilai PPK-BLUD untuk KPH Gularaya, tanggal 11 November 2014.
Milestone keenam: Hasil dari fasilitasi ujicoba pelaksanaan PPK-BLUD di KPH Produksi Gularaya, beberapa peraturan pemerintah daerah telah dikeluarkan:
Milestone ketujuh: FORCLIME fasilitasi penyusunan buku petunjuk pelaksanaan sistem PPK-BLUD - Menuju KPH Mandiri , yang merupakan penyempurnaan dari buku pertama, dan sebagai capaian terbaru di tahun 2016. Di dalam buku terbaru ini dilengkapi dengan template yang diperlukan dalam implementasi sistem PPKBLUD di tingkat KPH. Dengan panduan ini para manajer KPH di seluruh Indonesia dapat belajar dari pendekatan yang dilakukan di KPH Produksi Gularaya dan menerapkannya dalam KPH masing-masing.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Gatot Moeryanto, Senior Adviser untuk Pembangunan KPH
Wandojo Siswanto, Manager bidang Strategis, Kebijakan Kehutanan (Kerangka Kebijakan Nasional dan sub nasional)