FORCLIME
Forests and Climate Change ProgrammeTechnical Cooperation (TC Module)
Select your language
Kabupaten Berau dikenal memiliki potensi madu hutan berkualitas tinggi dalam jumlah cukup besar. Namun dengan semakin banyaknya konversi hutan menjadi lahan perkebunan dan maraknya kerusakan hutan, dikhawatirkan produksi madu hutan ini diperkirakan akan berkurang bahkan bisa hilang di masa mendatang. Untuk itu Dinas Kehutanan Kabupaten Berau bersama dengan The Nature Conservancy (TNC), GIZ FORCLIME, LSM ‘Nemdoh Nemdung’ dan masyarakat Kecamatan Kelay mengadakan pelatihan Panen Madu Hutan Lestari pada tanggal 26-28 November 2012. Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan masyarakat dari 6 desa yang berada di sekitar KPH Berau Barat antara lain Long Duhung, Long Lanuk, Lesan Dayak, Merabu, Panaan dan Merapun.
GIZ FORCLIME memfasilitasi pelatihan ini dengan mendatangkan pelatih madu hutan dari LSM KABAN Pontianak, Kalimantan Barat dan seorang petani madu dari Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) Kalimantan Barat. Dalam pelatihan ini dikenalkan metode baru untuk membuat sarang lebah buatan yang populer di Danau Sentarum dan disebut dengan tikung. Tikung adalah sarang lebah madu hutan buatan yang disusun dari kayu dan di pasang di pohon yang tidak terlalu tinggi agar mudah dalam memanen madunya. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat tikung sangat mudah didapat dan cara membuatnya pun juga tidak terlalu sulit. Selain pelatihan membuat dan memasang tikung, peserta juga juga memperoleh ilmu dan informasi tentang pemanenan lestari, cara pengemasan madu , serta jalur pemasaran madu hutan.
Melalui pelatihan ini masyarakat memperoleh transfer teknologi, sehingga masyarakat di Kelay dapat membuat terobosan baru dalam memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Selama ini mereka memanen madu hutan pada ketinggian antara 40-70 meter dengan alat pengaman yang sangat minim, sehingga mengambil madu hutan merupakan kegiatan yang sangat berbahaya bagi mereka. Dengan diperkenalkannya metode baru ini, masyarakat sangat tertarik untuk mencoba teknologi yang baru diperkenalkan dan berharap agar tikung-tikung yang akan dipasang dihinggapi lebah madu.
Setelah mengikuti pelatihan ini, para peserta membuat rencana tindaklanjut berupa (1) Membuat 10-15 tikung di desa masing-masing, (2) Membentuk kelompok petani lebah madu untuk memudahkan koordinasi antar desa, (3) Berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan Kabupaten untuk mendapat dukungan pembinaan lebih lanjut. Para peserta juga sepakat untuk bertemu kembali pada bulan Februari 2013 dalam rangka mengevaluasi rencana kerja mereka.
Pemangku kepentingan yang aktif dalam pengembangan pengelolaam hutan berbasis masyarakat, baik lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah, di Kalimantan Timur bertemu di Samarinda pada tangaal 20-21 November 2012 untuk bertukar pengalaman, berkoordinasi terkait dengan upaya-upaya yang telah dilakukan dan untuk memutuskan langkah selanjutnya. Rapat Koordinasi Pembangunan Hutan Desa dan Lokakarya Pemetaan Indikatif Kawasan Hutan Desa adalah upaya kolaborasi antara Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Mahakam Berau, GIZ FORCLIME dan Kawal Borneo Community Foundation (KBCF). Acara ini dihadiri oleh 65 perwakilan dari Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten di Kalimantan Timur, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan perwakilan kecamatan dan masyarakat dari beberapa desa di Kalimantan Timur.
Di Kalimantan Timur, Hutan Desa sebagai salah satu dari beberapa skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang diatur pemerintah, masih dalam tahap awal pembangunan. Sampai saat ini ada dua desa yang proposalnya telah diverifikasi oleh Kementerian Kehutanan untuk izin pengelolaan hutan desa. Desa-desa yang telah diverifikasi adalah Long Bentuk (Kutai Timur) dengan luas 800 hektar difasilitasi oleh KBCF, dan Setulang (Malinau) yang mencakup 5.314 hektar difasilitasi oleh GIZ FORCLIME. Selain itu, WWF telah mengusulkan seluas 52.000 hektar di Kutai Barat yang akan dialokasikan untuk kegiatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Salah satu isu penting dan tantangan bagi kemajuan lebih lanjut yang dibahas dalam Rapat Koordinasi Hutan Desa adalah terbatasnya dukungan pemerintah daerah dalam mengembangkan kebijakan yang kondusif. Selain itu, kurangnya ketersediaan fasilitator juga merupakan masalah utama dalam proses pengembangan hutan desa. Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, Staf Ahli Menteri Kehutanan bidang Hubungan antar Lembaga, dan Dr. Ir. Haryadi Himawan, Direktur Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan, membuat komitmen untuk melaksanakan roadshow ke kabupaten-kabupaten di Kalimantan Timur untuk mendorong pemerintah daerah untuk memberikan dukungan terhadap pengembangan Hutan Desa.
Selama hari kedua, lokakarya difokuskan pada berbagi pengalaman di antara warga desa yang terkait dengan proses pembangunan hutan desa dan pemetaan daerah indikatif untuk pembangunan desa hutan di kabupaten. GIZ FORCLIME telah mendukung dinas kehutanan kabupaten dalam mengembangkan peta indikatif untuk alokasi desa hutan di Kabupaten Malinau dan Kabupaten Kapuas Hulu. Nara sumber dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan sangat mendukung dinas-dinas kehutanan kabupaten dan FORCLIME dalam menyusun draft indikatif peta dan menganggap bahwa peta dibuat telah memenuhi standar. Peta-peta indikatif alokasi hutan desa di Kabupaten Malinau dan Kabupaten Kapuas Hulu akan difinalisasi oleh dinas kehutanan kabupaten dan akan diajukan permohonan persetujuan kepada Menteri Kehutanan. Pengesahan peta-peta ini merupakan langkah besar ke depan dalam mencapai pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Kalimantan Timur.
Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan dan FORCLIME menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) mengenai “Penyempurnaan Panduan Penggunaan Mono Cable Winch (MCW)” pada tanggal 14 November 2012. Tujuan FGD adalah untuk memfinalisasi panduan MCW dan meningkatkan pemahaman mengenai sistem pemanenan dengan menggunakan Mono Cable Winch, mengintegrasikan MCW ke dalam kebijakan kehutanan dan meningkatkan kesadaran di lingkup kementerian kehutanan tentang perlunya suatu peraturan untuk penerapan Mono Cable Winch serta membuat aturan tersebut menarik untuk diimplementasikan.
Dr. Yosep Ruslim dari Universitas Mulawarman menyampaikan presentasi mengenai “Memahami sistem pemanenan menggunakan MCW. Kebijakan dan kaitannya dengan pengurangan emisi”. Acara diskusi ini dihadiri oleh 23 staf teknis dari Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan (Pusdal), The Nature Conservancy (TNC), GIZ-FORCLIME, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) serta perwakilan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang telah berpengalaman dengan sistem MCW.
Pemateri menjelaskan bahwa MCW merupakan salah satu alat untuk pembalakan rendah dampak (Reduced Impact Logging - RIL) karena dapat mengurangi dampak negatif dari penyaradan kayu. Penggunaan MCW dapat berkontribusi untuk mengurangi emisi karbon, karena degradasi hutan akan berkurang dan lebih sedikit bahan bakar fosil yang digunakan per meter kubik kayu. Peralatan dapat diproduksi di dalam negeri dengan harga yang relatif rendah (sekitar Rp 50 juta.). Peserta membahas cara-cara bagaimana MCW dapat dipromosikan dalam konsesi hutan alam sebagai bagian dari sistem silvikultur secara keseluruhan dan memperbaiki perencanaan pemanenan hutan.
Tantangan yang dihadapi dalam menggunakan alat ini adalah operator tidak terbiasa menggunakan alat tesebut dan peralatan MCW di lapangan sering dikaitkan dengan pembalakan liar.
Peserta FGD sepakat perlu diterbitkannya suatu keputusan tingkat direktur jenderal sebagai dasar hukum dan dukungan regulasi. Peserta mengusulkan untuk mengeksplorasi insentif untuk penggunaan MCW, misalnya insentif kebijakan fiskal atau harga premium. Akhirnya, FGD juga mencapai keputusan untuk meninjau kebijakan terkait dengan pembalakan rendah dampak (RIL) secara komprehensif di masa depan.