FORCLIME
Forests and Climate Change ProgrammeTechnical Cooperation (TC Module)
Select your language
Salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang menjadi primadona adalah madu alam karena permintaan terhadap madu alam terbilang tinggi. Tetapi saat ini keberadaan madu alam mengalami penurunan produksi tiap tahunnya. Dalam situasi seperti ini, muncul ide untuk mengembangkan budidaya madu lebah Trigona Sp. Lebah jenis Trigona sp adalah lebah kecil menyerupai lalat yang dapat menghasilkan madu dan propolis. Lebah madu ini berbeda dengan lebah lainnya, tidak memiliki sengat. Untuk mempertahankan diri lebah ini memproduksi propolis, yang juga bernilai pasar.
Beberapa kemudahan budidaya Trigona Sp dibanding lebah lainnya antara lain: tidak perlu dipelihara, tidak perlu digembala, tidak perlu peralatan khusus, tidak perlu takut disengat, kemudahan pengembangan koloni, produktivitas propolis lebih tinggi, tahan hama penyakit, bisa panen sepanjang waktu.
Melihat banyaknya kelebihan tersebut, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Berau Barat, Kalimantan Timur didukung oleh GIZ FORCLIME mengadakan kegiatan inventarisasi dan sosialisasi mengenai budidaya lebah Trigona Sp kepada masyarakat di desa-desa sekitar KPH pada tanggal 23 – 28 Juni 2014. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melakukan identifikasi dan penelitian pemanfaatan jenis lebah ini (lebah kelulut) sebagai bahan obat dan menjaga kesehatan, serta meningkatkan mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan. Dengan demikian diharapkan dapat mengurangi dampak negatif seperti deforestasi dan degradasi hutan yang disebabkan oleh kebutuhan ekonomi.
Dalam kegiatan ini dilakukan praktek pembuatan ‘stub’ (kotak sarang Trigona) dan langsung memindahkan telur dan sarang dari alam ke dalam sarang buatan. Kemudian sarang-sarang buatan tersebut dibagikan kepada desa-desa yang berada di sekitar wilayah KPH Berau Barat (Muara Lesan, Long Beliu, Sidobangen, Merasa).
Kepala KPH Berau Barat, Hamzah, sangat mengapresiasi inisiatif budidaya lebah kelulut ini karena lebih memudahkan masyarakat untuk mendapatkan madunya, dibandingkan dengan pemanenan madu alam yang biasanya memiliki resiko tinggi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa KPH Berau Barat siap untuk mengembangkan inisiatif ini di desa-desa lain.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Ali Mustofa, Thematic Leader of Community Empowerment
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan Kehutanan (SMK Kehutanan), Pusat Pedidikan dan Latihan Kehutanan (Diklat Kehutanan), Kementerian Kehutanan (Kemenhut) bekerja sama dengan FORCLIME menyelenggarakan pelatihan mengenai Peningkatan Kapasitas Bagi Calon Assesor Uji Kompetensi Keahlian SMK Kehutanan. Kegiatan ini dilaksanakan di Pusat Diklat Kehutanan di Bogor tanggal 30 Juni sampai 5 Juli 2014. Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk membekali para calon assesor supaya mereka memiliki kemampuan melakukan Uji Kompetensi Keahlian bagi peserta didik yang akan melaksanakan Ujian Praktik Kejuruan Nasional SMK Kehutanan. Dalam sistem pendidikan di Indonesia, siswa SMK Kehutanan harus mengikuti dan lulus ujian praktik bidang Kompetensi Kehutanan.
Pelatihan ini difasilitasi oleh Widyaiswara Pusat Diklat Kehutanan dan diikuti oleh 60 peserta calon assessor dari unsur guru SMK Kehutanan, widyaiswara Pusat Diklat Kehutanan dan widyaiswara Balai Diklat Kehutanan. Dalam acara pembukaan, perwakilan dari FORCLIME, Mathias Bertram, mengemukakan bahwa selama ini Kemenhut sudah melakukan rekrutmen alumni SMKK untuk ditempatkan di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Untuk 5 tahun ke depan direncanakan akan dibentuk 600 KPH, sehingga akan membutuhkan dukungan sumber daya manusia terampil yang cukup besar. Alumni SMKK yang memiliki keterampilan teknis level menengah, akan berperan penting dalam mendukung kelancaran aktivitas KPH di masa datang. Beliau juga menekankan bahwa sampai dengan sekarang beberapa isu penting yang dihadapi KPH dan perlu dijadikan bahan masukan untuk pengembangan kurikulum SMKK adalah: (1) Masih banyaknya konflik tenurial di wilayah KPH yang perlu dicarikan solusinya, (2) Tata batas kawasan hutan yang belum solid, (3) Pengembangan kewiraswastaan sektor kehutanan, (4) Masih kurangnya perhatian terhadap rehabilitasi dan konservasi kawasan, dan (5) Penguatan kelembagaan KPH. Belajar dari proses pembangunan KPH di Jerman, Mathias Bertram menyarankan agar sistem belajar bagi para siswa SMKK lebih menekankan pada aspek praktek dan tidak melulu teori.
Untuk informasi lebih lanjut bisa menghubungi:
Edy Marbyanto, Strategic Area Manager Human Capacity Development
Sebagai bagian dari dukungan FORLCIME terhadap operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan (WP3H) dan GIZ-FORCLIME menyelenggarakan pelatihan dan lokakarya bagi tenaga ahli kehutanan untuk menjadi pendamping pembangunan KPH di Regional I – Sumatera. Acara ini berlangsung dari tanggal 16 – 18 Juni 2014 di Medan dan dihadiri oleh akademisi dari berbagai universitas di Sumatera, perwakilan pemerintah daerah dan KPH, serta organisasi masyarakat madani di Sumatera Utara. Pelaksanaan acara ini juga tidak lepas dari dukungan Sekretariat Nasional KPH dan Universitas Sumatera Utara.
Sedikit berbeda dengan pelaksanaan pelatihan dan lokakarya sebelumnya, kali ini perwakilan masyarakat madani di wilayah Medan dan sekitarnya turut berpartisipasi aktif selama acara berlangsung. Hal ini sebagai salah satu upaya dalam membangun kesepahaman mengenai konsep KPH dan identifikasi peran masing-masing pihak dalam mendukung pembangunan dan operasionalisasi KPH. Selain itu, materi pelatihan juga mengupas mengenai KPH Konservasi (KPHK) serta pembelajaran mengenai tantangan pengelolaan dan strategi resort based management yang mulai diimplementasikan di Taman Nasional Gunung Leuser.
Para peserta memberikan tanggapan positif atas penyelenggaraan kegiatan ini karena ada banyak hal yang diperoleh peserta serta membantu mereka untuk menentukan langkah selanjutnya di masing-masing wilayah kerja. Selain itu, peserta menganggap penting untuk menyusun buku panduan bagi para akademisi dalam memberikan pendampingan KPH. Menanggapi masukan dan berbagai usulan dari peserta, Direktorat WP3H siap memfasilitasi proses koordinasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Planologi di daerah dengan para tenaga pendamping.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Gatot Moeryanto, Senior Adviser for FMU development