FORCLIME
Forests and Climate Change ProgrammeTechnical Cooperation (TC Module)
Select your language
Sarang semut (Myrmecodia spp) merupakan tumbuhan yang banyak ditemukan di Tanah Papua yang dipercaya memiliki berbagai manfaat untuk kesehatan. Kata ‘Myrmecodia’ berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘dikerumuni semut’. Karena bentuknya bolong-bolong dan memang dijadikan sarang oleh semut. Masyarakat di Kampung Wendi di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, telah menjual sarang semut sejak lama dalam bentuk bongkahan kering secara langsung kepada penadah di Kota Sorong. Dalam rangka peningkatan ekonomi penduduk kampung yang berada di sekitar kawasan hutan dan peningkatan kapasitas masyarakat untuk mengelola sumber daya, Dinas Kehutanan Papua Barat dan didukung FORCLIME, mengadakan pelatihan membuat teh dari Myrmecodia atau teh sarang semut. Sarang semut (Myrmecodia spp.) merupakan salah satu potensi hasil hutan bukan kayu di Kampung Wendi yang selama ini dikelola sebagai obat tradisional. Pelatihan diberikan kepada tiga kelompok tani hutan di Kampung Wendi, yaitu Wendi 1, Wendi 2, Lembah Hijau. Pelatihan, diikuti oleh 116 orang (54 laki-laki dan 62 perempuan), dilaksanakan selama dua hari pada tanggal 28 hingga 29 November 2022. Peserta, selain diajarkan cara membuat teh dari tumbuhan Mymecordia spp, juga diajarkan cara mengemas minuman herbal tersebut sehingga menjadi produk yang siap untuk dijual.
Saat ini, bahan baku pembuatan teh sarang semut diambil dari alam. Untuk menjaga bahan baku yang berkelanjutan, kelompok tani hutan di Kampung Wendi memasukan budidaya sarang semut ke dalam program kerja mereka.
Langkah selanjutnya setelah pelatihan ini adalah pendampingan bagi kelompok tani hutan untuk melakukan uji klinis atas produk yang dihasilkan hingga memperoleh izin penjualan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Fasilitasi juga akan diberikan kepada para kelompok tani hutan untuk dapat memasarkan produksnya melalui pelatihan pemasaran agar dapat mengakses pasar, baik pasar tradisional maupun melalui marketplace.
Untuk informasi yang lebih lanjut, silakan hubungi:
Melanesia Brigite Boseren, Advisor Junior bidang penghidupan (livelihood) pedesaaan, pengelolaan dan konservasi hutan
Nita Yohana, Advisor bidang pengelolaan hutan lestari dan koordinator Provinsi Papua Barat
Mohammad Sidiq, Manajer bidang strategis, pengelolaan hutan lestari dan koordinator Provinsi Papua dan Papua Barat
Sebagai upaya pemberdayaan masyarakat kampung binaan, bersama Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Sorong Selatan, FORCLIME mengadakan pelatihan budidaya lebah madu bagi kelompok tani hutan di dua kampung dukungan di Provinsi Papua Barat, yaitu Wendi dan Haha yang terletak di Kabupaten Sorong Selatan. Kegiatan pelatihan tersebut dilaksanakan pada tanggal 21 – 22 November 2022 di Kampung Wendi, dan 23 – 24 November 2022 di Kampung Haha. Peserta pelatihan adalah tiga kelompok tani hutan dari Kampung Wendi (Wendi 1, Wendi 2, Lembah Hijau) dan tiga dari Kampung Haha (Imian, Sesna and Nagi).
Para peserta mendapat pelatihan dari ahli lebah madu tanpa sengat, Dr Mahani, SP., M.Si., dari Fakultas Teknik Industri Pertanian, Universitas Pajajaran. Jenis lebah madu tanpa sengat yang diperkenalkan dalam pelatihan ini adalah dari species Tetragonula biroi dan Heterotrigona itama.
Selama pelatihan, para peserta mendapatkan pengetahuan, termasuk:
1. Teknik budidaya lebah trigona unggul.
2. Mengenal dan memilih lebah tanpa sengat untuk budidaya.
3. Teknik pembuatan ‘stup’ atau kotak untuk budidaya lebah.
Dalam pelatihan, para peserta mempraktikkan cara membuat kotak untuk budidaya lebah (stup). Selain itu, mereka juga mendapatkan pengetahuan lain berdasarkan pengalaman ahli dalam budidaya lebah madu, termasuk prospek ekonomi budidaya madu.
Dalam bahasa setempat, lebah tanpa sengat disebut ‘hok’ sedangkan lebah dengan sengat disebut ‘towa’. Penduduk setempat telah menggunakan madu ‘hok’ sejak zaman dahulu, namun belum membudidayakan untuk tujuan komersial. Oleh karena itu, melalui pelatihan ini, mereka mendapatkan ilmu untuk mengembangkan budidaya lebah yang memiliki prospek secara ekonomi. Sehingga kedepannya dapat dijadikan pendapatan tambahan bagi mereka.
Untuk informasi yang lebih lanjut, silakan hubungi:
Melanesia Brigite Boseren, Advisor Junior bidang penghidupan (livelihood) pedesaaan, pengelolaan dan konservasi hutan
Nita Yohana, Advisor bidang pengelolaan hutan lestari dan koordinator Provinsi Papua Barat
Mohammad Sidiq, Manajer bidang strategis, pengelolaan hutan lestari dan koordinator Provinsi Papua dan Papua Barat
Melanjutkan rangkaian FGD dalam rangka kajian pengembangan kebijakan nasional bioekonomi hutan di Indonesia, FORCLIME mendukung Bappenas mengadakan FGD terkait potensi industri pengolahan hasil hutan dan peran Access and Benefit Sharing (ABS) dalam mendukung pengembangan bioekonomi hutan di Indonesia. FGD ini dilaksanakan pada tanggal 18 November 2022 di Yogyakarta yang juga dilakukan secara daring.
Pertemuan dibuka oleh Ibu Dr. Nur Hygiawati Rahayu, ST, MSc, Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, Kementerian PPN/Bappenas, dan terbagi dalam 2 sesi. Pada sesi pertama, FGD fokus pada potensi pengembangan hasil hutan dalam mendukung bioekonomi. Narasumber pertama pada sesi ini adalah Ibu Aida Greenburry dari World Bioeconomy Forum. Ibu Aida memberikan gambaran mengenai isu-isu terkini di forum bioekonomi internasional serta contoh strategi pengembangan bioekonomi yang sudah ada di negara-negara lain. Beberapa kondisi pemungkin yang diperlukan untuk mendukung pengembangan bioekonomi adalah ketersediaan bio-database, pengaturan peran dan tanggung jawab dari kementerian kunci, riset dan analisis investasi, pembentukan ekosistem demand and market, serta kolaborasi internasional.
Narasumber selanjutnya adalah Ibu Merrijantij Punguan Pintaria, ST, M.Eng, selaku Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Kementerian Perindustrian. Ibu Merrijanti memberikan informasi terkait profil dan kinerja industri hasil hutan dan perkebunan, kondisi ekonomi manufaktur dunia, serta kebijakan di Indonesia yang berpotensi mendukung pengembangan industri bioekonomi. Koordinasi industri hulu-hilir dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal juga menjadi modal penting untuk mendorong penanaman investasi yang sesuai dengan kebutuhan dalam negeri untuk meningkatkan kekuatan dari sektor hulu, termasuk sektor kehutanan.
Pada sesi kedua, diskusi fokus pada konsep dan peran ABS dalam mendukung pengembangan bioekonomi. Narasumber pada sesi ini adalah Bapak Hartmut Meyer dan Bapak Olivier Rukundo dari GIZ dan Bapak Rik Kutsch Lojenga dari Union for Ethical Biotrade. Para narasumber menyampaikan bahwa ABS dapat memberikan kepastian hukum bagi pemilik sumber daya genetik dan pelaku riset, mendorong pengembangan produk, dan memastikan adanya keuntungan yang adil bagi pihak yang terlibat. Pelaksanaan ABS membutuhkan kerangka kebijakan yang jelas serta koordinasi yang kuat antara kementerian dan lembaga pemerintah terkait. Terdapat praktik-praktik terbaik implementasi ABS yang memberikan manfaat untuk suatu negara, namun di beberapa negara ABS justru menghambat perkembangan penelitian sumber daya genetik. Oleh karena itu, analisis terhadap kerangka legal yang ada harus dilakukan secara menyeluruh untuk menghindari duplikasi atau konflik dengan peraturan yang ada.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Nurdita Rahmadani, Advisor Junior Bidang Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan
R. Rizka Dewi Zuleika, Advisor Junior Bidang Pengelolaan Hutan Lestari
Pipin Permadi, Advisor Senior dan Liaison Officer
Wandojo Siswanto, Manajer Strategis untuk Kebijakan Kehutanan dan Perubahan Iklim